Beberapa bulan lagi, tepatnya pada 14 Februari 2024, Indonesia akan mengelar kontestasi politik yaitu Pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih presiden, anggota DPR dan anggota DPD.
- Jokowi Minta Penjabat Kepala Daerah Netral Selama Pemilu
- Biodata dan Karir Mentereng Mahfud MD, Cawapres Ganjar Pranowo
- Doa Agar Mendapat Takdir Baik, Cocok Juga Diamalkan Oleh Para Caleg
Baca Juga
Di provinsi NTB, ratusan calon anggota legislatif (Caleg) dari berbagai partai pun sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bersaing agar bisa mencicipi kursi empuk kantor DPRD baik provinsi maupun kabupaten atau kota.
Sejak adanya pemilihan anggota DPR, ada satu istilah menggelitik dari kalangan masyarakat Lombok, Istilah tersebut adalah "Raos Caleg".
Dalam bahasa Indonesia, Raos Caleg berarti "Omongan Caleg". Istilah tersebut merupakan sindiran kepada orang yang banyak berbicara namun tidak ada hasil, atau orang yang berjanji namun jarang ditepati atau juga bisa berarti "Ngomong dulu, urusan belakangan".
Padahal, tidak semua Caleg yang ingkar terhadap janji politiknya setelah terpilih. Banyak juga Caleg yang sudah terpilih dan menepati janjinya. Itu terbukti saat Caleg tersebut maju dan terpilih lagi untuk periode selanjutnya karena dipercaya oleh pemilihnya.
Nah, sobat Rmol, apakah janji atau omongan politik "Raos Caleg" yang telah diucapkan kemudian tidak ditepati sang Caleg setelah terpilih bisa dituntut secara perdata? Berikut penjelasannya:
Dikutip dari hukum online, menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), dijelaskan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Lebih lanjut Subekti mengatakan bahwa dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal (adanya prestasi pada kedua belah pihak). Itu artinya hubungan hukum yang timbul dari perjanjian adalah hubungan yang saling timbal balik dari pihak yang berjanji untuk melakukan suatu hal.
Berdasarkan hal tersebut, ‘janji politik’ tidak termasuk janji yang dimaksudkan oleh perjanjian dalam konteks hukum perdata, karena ‘janji politik’ hanya dilakukan oleh caleg atau capres yang berjanji pada masa kampanye, dan pemilih juga tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari ‘janji politik’ tersebut.
Jadi kesimpulannya, janji politik’ yang disampaikan oleh caleg maupun capres dalam kampanye tidak dapat dikatakan sebagai janji dalam konteks hukum perdata.
Jika ada keingkaran, maka tidak dapat dilakukan gugatan terhadap caleg ataupun capres, karena keingkaran tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wanprestasi janji.(Tim)
- Jokowi Minta Penjabat Kepala Daerah Netral Selama Pemilu
- Biodata dan Karir Mentereng Mahfud MD, Cawapres Ganjar Pranowo
- Doa Agar Mendapat Takdir Baik, Cocok Juga Diamalkan Oleh Para Caleg